وسننه خمسة أشياء: التسمية، والوضوء قبله، وإمرار اليد على الجسد، والموالاة، وتقديم اليمنى على اليسرى
Sunnah-sunnahnya mandi itu ada 5, yaitu: 1. Membaca basmalah, 2. Wudhu sebelum mandi, 3. Menggosokkan tangan ke seluruh permukaan tubuh, 4. Bersambung tiada henti (terputus), 5. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari yang kiri.
1) Mengucapkan Basmalah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع ) أخرجه ابن حبان من طريقين، قال ابن الصلاح : والحديث حسن.
“Segala perkara yang baik (menurut syara’) yang tidak diawali di dalamnya dengan ‘Bismillahir rahmanir rahim’, maka akan terputuslah (berkahnya).” (Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari dua jalur. Ibnu Shalah berkata, Hadits ini Hasan)
2) Wudhu (terlebih dahulu sebelum mandi),
Berdasarkan hadits pada bab fardhu-fardhu mandi.
3) Menjalankan (menggosokkan) tangan ke seluruh tubuh.
Menghindari pertentangan pendapat orang yang mewajibkannya, yaitu pendapat ulama madzhab maliki.
4) Beruntun atau berturut-turut
Sebagaimana keterangan pada bab wudhu. Yakni berturutan dalam mensucikan (membasuh/mengusap) anggota-anggota wudhu, selagi basuhan pertama belum kering ketika beralih ke basuhan selanjutnya.
5) Mendahulukan bagian badan yang kanan daripada yang kiri.
Aisyah Radhiallahu Anha berkata,
كان النبي صلى الله عليه وسلم يحب التيمن ما استطاع في شأنه كله في طهوره وترجله وتنعله
“Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menyukai mendahulukan yang kanan dalam segala hal, dalam bersuci (mandi/wudhu), menyisir dan memakai sandal”. (HR. Syaikhan)
Tambahan: Jika seorang telah wudhu sebelum mandi, dan disaat mandi ia tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan batalnya wudlu. Maka, ia tidak usah wudlu lagi sehabis mandi.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jika beliau mandi junub adalah: Beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri lalu mencuci kemaluanya, kemudian beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke semua pangkal rambut. Sampai setelah beliau memandang bahwa airnya sudah merata mengenai semua rambut beliau, beliau lalu menyiram kepalanya sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau mencuci seluruh tubuh beliau, kemudian akhirnya mencuci kedua kaki beliau”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mandi-Mandi Sunnah
“فصل” والاغتسالات المسنونة سبعة عشر غسلا: غسل الجمعة، والعيدين، والاستسقاء، والخسوف، والكسوف، والغسل من غسل الميت، والكافر إذا أسلم، والمجنون، والمغمى عليه إذا أفاقا، والغسل عند الإحرام، ولدخول مكة، وللوقوف بعرفة، وللمبيت بمزدلفة، ولرمي الجمار الثلاث، وللطواف، وللسعي، ولدخول مدينة الرسول صلى الله عليه وسلم.
(Pasal) Mandi-mandi sunnah itu ada 17, yaitu:
a. Mandi (untuk shalat) Jum’at
Mandi Jum’at disunnahkan menurut mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan hal ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya mandi Jum’at tidak ditinggalkan. Inilah pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama yang ada.
Catatan penting yang perlu diperhatikan, mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Sebagaimana dinyatakan oleh Al Khatthabi dan selainnya bahwa para ulama sepakat (berijma’), mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Shalat tersebut tetap sah walaupun tanpa mandi Jum’at.
Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang yang menghadiri shalat Jum’at dan bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at. Sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban untuk shalat Jum’at, tidak terkena perintah ini. (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah)
Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat jumat maka hendaknya dia mandi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim
b. Mandi pada hari Idul Fitri dan Idul Adha
Hari raya yang dimaksudkan adalah Idul Fithri dan Idul Adha. Mandi ketika itu disunnahkan. Dalil tentang hal ini adalah atsar sahabat yang menunjukkan dianjurkannya mandi ketika hari raya yaitu dari ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Umar yang dikenal yang sangat ittiba’ (meneladani) Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu,
سَأَلَ رَجُلٌ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ الغُسْلِ قَالَ اِغْتَسِلْ كُلًّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ لاَ الغُسْل الَّذِي هُوَ الغُسْلُ قَالَ يَوْمَ الجُُُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الفِطْرِ
Seseorang pernah bertanya pada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arofah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al Baihaqi 3/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ 1/177)
Riwayat Ibnu ‘Umar Radhiallahu Anhuma,
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Muwatha’. An Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih)
c. Mandi ketika hendak shalat Istisqaa’ (shalat mohon hujan)
Dalam hal ini, mandi disunnahkan sebelum berangkat shalat, berdasarkan kiyas kepada mandi untuk shalat jum’at dan ‘Ied.
d. Mandi ketika hendak shalat gerhana bulan (shalat Khusuuf)
e. Mandi ketika hendak shalat gerhana matahari (shalat Kusuuf)
Disunnahkan pula sebelum shalat gerhana matahari dan bulan untuk mandi. Adapun dalilnya adalah kias kepada mandi pada hari jum’at. Karena tujuannya sama, baik dari segi disyari’atkannya shalat berjamaah waktu itu, maupun karena berkumpulnya orang banyak. Waktu mandi shalat gerhana matahari maupun bulan dimulai sejak mulai terjadinya gerhana, dan berakhir dengan berakhirnya gerhana.
f. Mandi sehabis memandikan mayit
Dan disunnatkan pula mandi bagi orang yang baru saja memandikan mayit. Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa memandikan mayit, maka hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu”. (HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits ini tidak diartikan sebagai mewajibkan, dikarenakan ada sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lainnya:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ فِى غَسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ اِذَا غَسَلْتُمُوْهُ (رواه الحاكم 1/386)
“Kamu sekalian tidak berkewajiban mandi berkenaan dengan memandikan mayit kamu, apabila kamu telah memandikannya“. (HR. al-Hakim)
g. Mandi bagi orang kafir ketika masuk Islam
Para ulama berbeda pendapat apakah orang kafir yang masuk Islam wajib atau disunnahkan untuk mandi. Namun hal penting yang harus diketahui bahwa di balik perbedaan pendapat ini, mereka bersepakat bahwa orang kafir yang masuk Islam disyariatkan untuk mandi.
Berdasarkan dalil hadits Qais bin ‘Ashim Radhiallahu Anhu,
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم أريد الإسلام فأمرني أن أغتسل بماء وسدر
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Aku ingin masuk Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara”. (Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud (355), at-Tirmidziy (605), an-Nasa-iy (1/109), dan Ahmad (34/216).
Demikian pula hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu tentang masuk Islamnya Tsumamah bin Atsal Radhiallahu Anhu, di mana Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkannya untuk mandi. (Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dan asalnya muttafaqun ‘alaihi. Lihat Bulughul Maram pada kitab at-Thaharah bab al-Ghasl wa Hukmu al-Junb)
h. Mandi bagi orang gila setelah sembuh
i. Mandi bagi orang pingsan setelah sadarnya
Dianjurkannya hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu Anha dalam hadits yang cukup panjang.
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedang sakit?” ‘Aisyah menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan. Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau berkata, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh dan pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu yang akhir. (HR. Bukhari dan Muslim)
j. Mandi ketika hendak ihram (haji dan umrah)
Dalilnya ialah sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi, dari Zaid bin Tsabit al-Anshari Radhiallahu Anhu:
اَنَّهُ رَاَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَجَرَّدَ لاِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلْ
“Bahawasanya Zaid bin Thabit telah melihat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menanggalkan pakaiannya kerana hendak memakai ihram dan mengucap talbiah dengan suara yang nyaring dan mandi ihram”. (HR. Tirmidzi)
k. Mandi ketika hendak masuk Makkah
Dalilnya ialah atsar berikut:
اَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَ لاَيَقْدَمُ مَكَّةَ اِلاَّ باَتَ بِذِى طُوًى حَتَّى يُصْبِحَ وَيَغْتَسِلَ، ثُمَّ يَدْخُلُ مَكَّةَ نَهَارًا، وَكَانَ يَذْكُرُ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ فَعَلَهُ
Bahwasanya Ibnu ‘Umar Radhiallahu Anhu tidak memasuki kota Mekah sebelum bermalam di Dzu Thuwa sampai pagi, lalu mandi. Kemudian, barulah masuk ke kota Mekah siang harinya. Dan pernah ia bercerita tentang Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa beliau melakukan hal seperti itu. (HR. al-Bukhari dan Muslim, sedang lafazh hadits ini menurut Muslim)
l. Mandi ketika hendak wuquf di Arafah
Sesudah tergelincir matahari. Dan yang terbaik hendaklah dilakukan di Namirah dekat ‘Arafah. Sedang dalilnya ialah:
اَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ ﷲُعَنْهُ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْعِيْدَيْنِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ٬ وَيَوْمَ عَرُفَةَ٬ وَاِذَا اَرَادَ اَنْ يُحْرِمَ
Bahwasanya Ali Radhiallahu Anhu mandi pada hari raya Fithri dan Adhha, hari jum’at, hari ‘Arafah, dan apabila hendak berihram).
Sedang Malik dalam Muwaththa’nya (1/322) meriwayatkan dari Nafi’:
اِنَّ عَبْدَﷲِ بْنَ عُمَرَرَضِىَ ﷲُعَنْهُ كَانَ يَغْتَسِلُ ﻻِِحِرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ٬ وَلِدُخُوْلِهِ مَكَّةَ٬ وَلِوُقُوْفِهِ عَشِيَّةَعَرَفَةَ٠
Bahwasanya Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma mandi untuk ihramnya sebelum berihram, dan juga ketika hendak memasuki kota Mekah, dan ketika hendak berwuquf pada sore hari ‘Arafah.
m. Mandi ketika hendak bermalam di Muzdalifah
n. Mandi untuk melemparkan jumrah yang 3
o. Mandi untuk thawaf (Thawaf quddum, ifaadhah dan wadaa’)
p. Mandi untuk sa’I (Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa 7 kali)
Mandi ketika hendak bermalam di Muzdalifah, Mandi untuk melemparkan jumrah yang 3, Mandi untuk thawaf (Thawaf quddum, ifaadhah dan wadaa’), Mandi untuk sa’I (Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa 7 kali) dikiyaskan oleh pengarang Matan Abi Syuja’ kepada mandi jum’at, shalat ‘Id karena itu semua merupakan tempat-tempat berkumpulnya orang banyak. Tapi kiyas ini lemah.
q. Mandi untuk masuk kota Madinah
Dikiaskan kepada mandi yang mustahab sebelum memasuki kota Mekah. Sebab, masing-masing adalah negeri yang dimuliakan.
oleh UST. DR. ERWANDI TARMIDZI, MA
Bahasa Arab & Fiqih
Sabtu, 15 November 2014
Perkara yang menyembabkan mandi janabah
Pengarang Matan Abu Syuja’, Al-Qadhi Abu Syujaa’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfihaany Rahimahullahu menulis,
“فصل” والذي يوجب الغسل ستة أشياء: ثلاثة تشترك فيها الرجال والنساء وهي: التقاء الختانين، وإنزال المني، والموت. وثلاثة تختص بها النساء وهي: الحيض، والنفاس، والولادة
(Pasal) Perkara yang mewajibkan mandi itu ada 6, yaitu:
Tiga diantaranya berlaku sama bagi pria maupun wanita, yaitu: 1. Bertemunya dua jenis kemaluan (bersetubuh), 2. Keluarnya mani, 3. Mati (bukan mati syahid). Dan 3 lainnya khusus bagi wanita: 4. Haidh, 5. Nifas, 6. Melahirkan
1. Bertemunya dua jenis kemaluan (jima’)
Sesungguhnya agama Islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian dengan perhatian yang sempurna. Diluar islam, tidak ada yang mengatur perihal mandi bagi para pengikutnya. Perhatian Islam atas kesucian merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Dalam syariat Islam, kita mengenal beberapa jenis perintah yang terkait dengan menjaga diri dari kotoran, najis dan hal hal yang tidak suci. Meski wudhu, mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan.
Jika seorang suami menyetubuhi istrinya, maka ia wajib mandi. Seseorang dikatakan berjima’, jika ia memasukkan pucuk dzakarnya ke dalam farji istrinya. Manakala pucuk dzakarnya telah masuk farji istrinya ia diwajibkan mandi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika dua khitan bertemu dan kepala dzakar (penis) laki-laki tersembunyi dalam kemaluan wanita, maka wajib mandi”. (HR. Ibnu Majah)
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدَ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ.
“Jika seorang laki-laki (suami) duduk di antara empat cabang (kedua kaki dan kedua tangan) istrinya, kemudian menyetubuhinya maka sungguh ia telah diwajibkan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh, betapa banyaknya orang yang tidak mengetahui hukum jima’ dengan tidak mengeluarkan mani seperti ini. Diantara mereka ada yang sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tidak mandi jinabat, padahal ia bersetubuh dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.
Sebagai seorang muslim wajib mengetahui permasalahan di atas dan mengetahui batas-batas yang diperintahkan Rasul-Nya. Misalnya, jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya sekalipun tidak keluar mani, ia tetap wajib mandi begitu pula istrinya.
Adapun pengertian atau definisi daripada Mandi wajib Islam adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Adapun tujuan daripada mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadats besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat.
2. Keluarnya mani
Keluar mani disertai syahwat, baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Akan tetapi mimpi keluar mani dalam tidur, sudah pasti menyebabkan seseorang wajib mandi, sekalipun tidak disertai syahwat. Karena orang yang tidur kadang bermimpi tetapi bisa saja tidak merasa. Sudah pasti bagi yang keluar mani disertai syahwat, dalam keadaan bagaimanapun juga ia wajib mandi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.
“Air itu dikarenakan air.” (HR. Muslim)
Maksudnya, mandi itu diwajibkan karena keluarnya air mani.
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiallahu ‘Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).
Rasul bersabda: “Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib mandi.”
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiallahu Anha bertanya: “Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?” Rasul menjawab: “Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani adalah:
a) Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.
b) Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
c) Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.
Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria. Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila kekuatannya melebihi kadar rata-rata.
Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.
a) Baunya seperti bau mani pria.
b) Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.
3. Meninggal (bukan mati syahid)
Menurut sebagian ulama diantara hal yang mewajibkan mandi adalah mati, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada wanita-wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ.
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, tujuh kali ataupun lebih dari itu, jika memang baik menurut pendapat-pendapatmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan seorang laki-laki yang terlontar dari untanya sehingga menyebabkan dia meninggal dunia:
إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفًّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara, dan kafanilah dengan dua lembar kain”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nash-nash hadits di atas para ulama berkata: Jenazah itu wajib dimandikan, namun kewajiban ini berlaku bagi orang yang masih hidup, dan merekalah yang menjadi sasaran perintah dalam memandikan jenazah, karena orang mati sudah terputus beban taklifnya.
4. Haidh
Seorang wanita jika telah suci dari haidhnya, ia diwajibkan mandi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (Al-Baqarah: 222)
Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang haidh adalah, { حَتَّى يَطْهُرْنَ } “sampai mereka suci”, yaitu, darah mereka telah berhenti, maka apabila darah mereka telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir.
Syarat kehalalannya ada dua, terputusnya darah dan mandi suci darinya. Ketika darahnya berhenti lenyaplah syarat pertama hingga tersisa syarat kedua. Maka oleh karena itu Allah berfirman, {فَإِذَا تَطَهَّرْنَ } “Apabila mereka telah suci”, maksudnya mereka telah mandi, {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ} “maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”, yaitu pada kemaluan depan dan bukan lubang bagian belakang, karena bagian itu adalah tempatnya bersenggama, ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mandi bagi seorang wanita yang haidh dan bahwasanya terputusnya darah adalah syarat sahnya mandi. Inilah pendapat jumhur ulama’
Dan tatkala larangan tersebut merupakan kasih sayang dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya dan pemeliharaan dari kotoran, maka Allah berfirman, {إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين} “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”, yaitu dari dosa-dosa mereka secara terus menerus, {وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ} “dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”, yaitu yang bersuci dari dosa-dosa, dan ini mencakup segala macam bersuci dari yang bersifat matrial seperti dari najis maupun hadats.
5. Nifas (darah yang menyertai kelahiran)
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Wanita yang selesai nifas, diwajibkan mandi. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang wanita mustahadhah, apabila telah sesuai dengan hari berhenti haidhnya hendaknya ia mandi. (Lihat, hadits Bukhari dan Muslim, kitab al-Haidh)
Cara mandi wanita haidh dan wanita nifas sama dengan cara mandi wanita jinabah. Hanya saja menurut sebagian ulama, bagi wanita haidh disunnahkan (mustahab) untuk mandi dengan air yang dicampur daun bidara karena dapat lebih membersihkan kotoran (bau darah).
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
6. Melahirkan
Mandi Wiladah yaitu Mandi disebabkan illat bersalin. Ini adalah satu pendapat yang masyhur dalam Syafi’iyah, antaranya dalam Kitab-kitab populer mereka seperti: Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar dan Al Ghoyah wa Taqriib.
Ini dinamakan mandi wajib karena bersalin, kemudian dikenakan juga mandi karena selesainya Nifas (40 hari). Tapi mandi yang disyariatkan menurut pendapat Jumhur ialah mandi Nifas saja. Jika bersalin tanpa darah atau bersalin secara Caesar tanpa ada darah, maka menurut Hanabilah dan fatwa-fatwa seperti Lajnah Daimah tidak wajib mandi, sebab illat mandi ialah adanya Nifas (bila kering nifas, barulah mandi)
Permasalahan mandi wiladah dan nifas ini adalah khilaf pada tafsiran illat (sebab) mandi bagi wanita: sama saja karena bersalin atau karena darah Nifas.
oleh UST. DR. ERWANDI TARMIDZI, MA
“فصل” والذي يوجب الغسل ستة أشياء: ثلاثة تشترك فيها الرجال والنساء وهي: التقاء الختانين، وإنزال المني، والموت. وثلاثة تختص بها النساء وهي: الحيض، والنفاس، والولادة
(Pasal) Perkara yang mewajibkan mandi itu ada 6, yaitu:
Tiga diantaranya berlaku sama bagi pria maupun wanita, yaitu: 1. Bertemunya dua jenis kemaluan (bersetubuh), 2. Keluarnya mani, 3. Mati (bukan mati syahid). Dan 3 lainnya khusus bagi wanita: 4. Haidh, 5. Nifas, 6. Melahirkan
1. Bertemunya dua jenis kemaluan (jima’)
Sesungguhnya agama Islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian dengan perhatian yang sempurna. Diluar islam, tidak ada yang mengatur perihal mandi bagi para pengikutnya. Perhatian Islam atas kesucian merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Dalam syariat Islam, kita mengenal beberapa jenis perintah yang terkait dengan menjaga diri dari kotoran, najis dan hal hal yang tidak suci. Meski wudhu, mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan.
Jika seorang suami menyetubuhi istrinya, maka ia wajib mandi. Seseorang dikatakan berjima’, jika ia memasukkan pucuk dzakarnya ke dalam farji istrinya. Manakala pucuk dzakarnya telah masuk farji istrinya ia diwajibkan mandi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika dua khitan bertemu dan kepala dzakar (penis) laki-laki tersembunyi dalam kemaluan wanita, maka wajib mandi”. (HR. Ibnu Majah)
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدَ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ.
“Jika seorang laki-laki (suami) duduk di antara empat cabang (kedua kaki dan kedua tangan) istrinya, kemudian menyetubuhinya maka sungguh ia telah diwajibkan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh, betapa banyaknya orang yang tidak mengetahui hukum jima’ dengan tidak mengeluarkan mani seperti ini. Diantara mereka ada yang sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tidak mandi jinabat, padahal ia bersetubuh dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.
Sebagai seorang muslim wajib mengetahui permasalahan di atas dan mengetahui batas-batas yang diperintahkan Rasul-Nya. Misalnya, jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya sekalipun tidak keluar mani, ia tetap wajib mandi begitu pula istrinya.
Adapun pengertian atau definisi daripada Mandi wajib Islam adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Adapun tujuan daripada mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadats besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat.
2. Keluarnya mani
Keluar mani disertai syahwat, baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Akan tetapi mimpi keluar mani dalam tidur, sudah pasti menyebabkan seseorang wajib mandi, sekalipun tidak disertai syahwat. Karena orang yang tidur kadang bermimpi tetapi bisa saja tidak merasa. Sudah pasti bagi yang keluar mani disertai syahwat, dalam keadaan bagaimanapun juga ia wajib mandi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.
“Air itu dikarenakan air.” (HR. Muslim)
Maksudnya, mandi itu diwajibkan karena keluarnya air mani.
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiallahu ‘Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).
Rasul bersabda: “Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib mandi.”
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiallahu Anha bertanya: “Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?” Rasul menjawab: “Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani adalah:
a) Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.
b) Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
c) Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.
Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria. Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila kekuatannya melebihi kadar rata-rata.
Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.
a) Baunya seperti bau mani pria.
b) Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.
3. Meninggal (bukan mati syahid)
Menurut sebagian ulama diantara hal yang mewajibkan mandi adalah mati, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada wanita-wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ.
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, tujuh kali ataupun lebih dari itu, jika memang baik menurut pendapat-pendapatmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan seorang laki-laki yang terlontar dari untanya sehingga menyebabkan dia meninggal dunia:
إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفًّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara, dan kafanilah dengan dua lembar kain”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nash-nash hadits di atas para ulama berkata: Jenazah itu wajib dimandikan, namun kewajiban ini berlaku bagi orang yang masih hidup, dan merekalah yang menjadi sasaran perintah dalam memandikan jenazah, karena orang mati sudah terputus beban taklifnya.
4. Haidh
Seorang wanita jika telah suci dari haidhnya, ia diwajibkan mandi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (Al-Baqarah: 222)
Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang haidh adalah, { حَتَّى يَطْهُرْنَ } “sampai mereka suci”, yaitu, darah mereka telah berhenti, maka apabila darah mereka telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir.
Syarat kehalalannya ada dua, terputusnya darah dan mandi suci darinya. Ketika darahnya berhenti lenyaplah syarat pertama hingga tersisa syarat kedua. Maka oleh karena itu Allah berfirman, {فَإِذَا تَطَهَّرْنَ } “Apabila mereka telah suci”, maksudnya mereka telah mandi, {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ} “maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”, yaitu pada kemaluan depan dan bukan lubang bagian belakang, karena bagian itu adalah tempatnya bersenggama, ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mandi bagi seorang wanita yang haidh dan bahwasanya terputusnya darah adalah syarat sahnya mandi. Inilah pendapat jumhur ulama’
Dan tatkala larangan tersebut merupakan kasih sayang dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya dan pemeliharaan dari kotoran, maka Allah berfirman, {إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين} “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”, yaitu dari dosa-dosa mereka secara terus menerus, {وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ} “dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”, yaitu yang bersuci dari dosa-dosa, dan ini mencakup segala macam bersuci dari yang bersifat matrial seperti dari najis maupun hadats.
5. Nifas (darah yang menyertai kelahiran)
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Wanita yang selesai nifas, diwajibkan mandi. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang wanita mustahadhah, apabila telah sesuai dengan hari berhenti haidhnya hendaknya ia mandi. (Lihat, hadits Bukhari dan Muslim, kitab al-Haidh)
Cara mandi wanita haidh dan wanita nifas sama dengan cara mandi wanita jinabah. Hanya saja menurut sebagian ulama, bagi wanita haidh disunnahkan (mustahab) untuk mandi dengan air yang dicampur daun bidara karena dapat lebih membersihkan kotoran (bau darah).
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
6. Melahirkan
Mandi Wiladah yaitu Mandi disebabkan illat bersalin. Ini adalah satu pendapat yang masyhur dalam Syafi’iyah, antaranya dalam Kitab-kitab populer mereka seperti: Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar dan Al Ghoyah wa Taqriib.
Ini dinamakan mandi wajib karena bersalin, kemudian dikenakan juga mandi karena selesainya Nifas (40 hari). Tapi mandi yang disyariatkan menurut pendapat Jumhur ialah mandi Nifas saja. Jika bersalin tanpa darah atau bersalin secara Caesar tanpa ada darah, maka menurut Hanabilah dan fatwa-fatwa seperti Lajnah Daimah tidak wajib mandi, sebab illat mandi ialah adanya Nifas (bila kering nifas, barulah mandi)
Permasalahan mandi wiladah dan nifas ini adalah khilaf pada tafsiran illat (sebab) mandi bagi wanita: sama saja karena bersalin atau karena darah Nifas.
oleh UST. DR. ERWANDI TARMIDZI, MA
pengertian mandi janabah
Mandi Janabah
Mandi janabah atau lebih tepat jika kita ertikan bersuci dari hadas besar adalah satu amalan bersuci yang sangat penting bagi memastikan sahnya amalan-amalan seperti solat yang kita lakukan. Hendaklah dalam kita melakukan amalan mandi jenabah ini kita lakukan menepati Sunnah Rasulullah saw. Tidak boleh kita lakukan sewenang-wenangnya menurut hawa nafsu atau akal fikiran kerana Islam itu adalah pedoman yang diamanahkan kepada kita untuk dicontohi dan diamalkan, jika kita menolak atau ingkar dari mentaatinya maka kita tergolong dalam golongan orang yang kufur dan derhaka kepada Allah dan Rasul-Nya kerana syariat itu adalah satu amanah dan perjanjian kita sebagai seorang Islam yang sepatutnya wajib kita laksanakan dan haram bagi kita menolak atau mengingkarinya. Firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 6 [5:6]:
Dalil-dalil janabah:
وَإِن كُننتُمْ جُنُبًا فَاَطَّهَّرُواْ
“Dan jika kamu berjunub maka hendaklah kamu bersihkan (mandi jenabah)”
Dalam surah Al-Baqarah ayat 222 [2:222]:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ اَلنِّسَآءَ فِى الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Mereka bertanya kepada engkau berhubung haidh, katakanlah ia adalah kotoran, hendaklah kamu jauhi isteri ketika haidh (jangan menyetubuhinya) sehingga dia suci (setelah mandi jenabah)”
Perkataan الطُّهْر dalam ayat-ayat tadi bermakna “mandi jenabah”, ini beralasankan dengan ayat lain dalam surah An-Nisa’ ayat 43 [4:43]:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَتَقْرَبُواْ الصَّلَوَةَ وَأَنتُمْ سُكَرَى حَتَّى تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِى سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُواْ
“Wahai orang-orang yang beriman jangan kamu solat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu berkata, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu saja hingga kamu manidi janabah”.
Kamis, 06 November 2014
Fiqih Tayamum
Tayamum
Dalam Islam diajarkan untuk pemeluknya bahwa dalam beribadah kita harus suci. Oleh karena itu itu disyariatkan adanya bersuci. Cara bersuci yang dikenal dalam Islam meliputi mandi, wudhu dan tayamum. Dalam artikel kali ini kita akan membahas mengenai tayamum.
Pengertian Tayamum
Pengertian Tayamum yang didefinisikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah sebagai berikut:
Jika diartikan secara bahasa, tayamum artinya bermaksud atau menyengajakan. Hal ini sesuai dengan ungkapan orang arab yakni tayyamamtu asy syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya).
Menurut terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum adalah membasuh wajah dan kedua telapak tangan dengan menggunakan ash-sha’id suci yang menggantikan bersuci menggunakan air jika memang tidak bisa menggunakan air.
Secara syariat, tayamum adalah suatu keistimewaan dari umat Islam. Hal ini membuktikan bahwa Allah itu adil dan memudahkan manusia sebagai wujud dari kasih sayang-Nya.
cara Tayamum
Dalil pensyari’atan tayamum
Mengenai tayamum, ada beberapa dalil yang membenarkan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan (apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah dengan tanah yang suci.” QS. An-Nisaa’: 43
Diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hushain ra., Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum
Dalam terminologi diatas, ada kata ash sha’id. Apa itu ash sha’id? Ash sha’id adalah permukaan bumi dan segala sesuatu yang ada diatasnya. Maka dari itu diperbolehkan tayamum dengan apa saja yang masih layak disebut sebagai permukaan bumi. Demikian adalah pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik dan Ibnu Taimiyah dalam Shahih Fiqih Sunnah I/198. Hadits ini juga menunjukkan bahwa dalam ketiadaan air, maka diperbolehkan bersuci dengan tayamum. Dalam hadits ini juga kita dapat melihat bahwa tayamum memiliki kedudukan setara seperti bersuci dengan air, namun dengan syarat air tidak ada atau ada ketidaksanggupan untuk memakainya. (Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)
Penyebab yang membolehkan tayamum
Secara syariat tayamum dapat dilakukan jika ada keadaan sebagai berikut:
Tidak ada air yang cukup untuk bersuci
Tidak sanggup memakai air
Kekhawatiran yang timbul mengenai bahaya jika badan tersentuh air karena sakit yang diderita atau hawa dingin yang terlalu parah.
Bahkan menurut beberapa ulama, orang yang khawatir bahwa kematian akan menjemputnya pada saat hawa dingin sangat menusuk diperbolehkan tayamum karena serupa orang sakit. (Shahih Fiqih Sunnah I/196). Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., ia bercerita sebagai berikut:
Pada suatu saat kami bepergian dalam sebuah rombongan perjalanan. Tiba-tiba ada seorang lelaki diantara kami yang tertimpa batu sehingga menyisakan luka di kepalanya. Beberapa waktu sesudah itu dia mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian dalam kondisi ini saya diberi keringanan untuk bertayamum saja?” Menanggapi pertanyaan itu mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak diberikan keringanan untuk melakukan hal itu, sedangkan engkau sanggup memakai air.” Maka orang itu pun mandi dan akhirnya meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang peristiwa itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati! Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum saja.” HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim
Tata cara bersuci dengan tayamum
Setelah membahas mengenai bagaimana hukum bersuci jika tidak ada air dan anjurannya. Maka kini kita akan membahas mengenai tata cara bersuci dengan tayamum. Hal ini dimuat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar bin Yasir, yakni:
‘Saya pernah mengalami junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat. Maka hal itu pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ HR. Bukhari dan Muslim
Dari hadits diatas dan beberapa hadits lainnya mengenai tata cara tayamum yang benar, maka yang benar hanyalah menepukkan telapak tangan satu kali ke tanah atau permukaan bumi lainnya, lalu kemudian meniupnya. Setelah itu membasuhkan kedua telapak tangan ke wajah dan telapak tangan lainnya hinggga pergelangan tangan, baik luar maupun dalam. (Shahih Fiqih Sunnah I/202-203)
Dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin bahwa tata cara tayamum karena junub tidak berbeda dengan tayamum karena hadats kecil, yakni dengan cara menepuk kedua telapak tangan ke tanah sekali dan membasuh wajah, telapat tangan kanan dan kirinya. Sedangkan syaikh Ibnu Bassam menerangkan bahwa tayamum hanya memerlukan satu tepukan saja, dimana pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama seperti Imam Ahmad, Al Auza’i, Ishaq dan ulama ahli hadits. Tentu saja pendapat ini didasari oleh hadits yang shahih.
Bertayamum menggunakan dinding
Selain pada permukaan bumi secara langsung, seperti misalnya tanah, batu dan lain sebagainya, bertayamum juga dapat dilakukan dengan dinding. Hal ini sesuai dengan salah satu hadits sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” Muttafaq ‘alaih / Al Wajiz hal. 57
Dengan adanya hadits diatas menunjukkan bahwa menggunakan dinding sebagai media tayamum itu diperbolehkan. Demikian ulasan lengkap kami mengenai tayamum dan tata cara bertayamum. Semoga bermanfaat. (iwan)
referensi : http://www.berryhs.com/2012/01/cara-tayamum-yang-benar-menurut-islam.html
Sabtu, 01 November 2014
murodat benda-benda di rumah sakit
1 Kasa : شاش
2 Termometer : ميزان الحرارة
3 cawan : الكأس
4 masker : قناع
5 infus : التسريب
6 suntikan : الحقن
7 demam : الحمى
8 Tempat tidur pasien : سرير المريض
9 timbangan berat badan : جداول الوزن
10 stetoskop : سماعة الطبيب
11 ambulance : سيارة إسعاف
12 plester luka : الشريط الجرح
13 tabung oksigen : الأوكسجين
14 inkubator : حاضنة
15 kursi roda : كرسي متحرك
16 timbangan bayi : جداول طفل
17 mortar : هاون
18 tiang infus : رابعا القطب
19 bidan : القابلة
20 perawat : ممرضة
21 pincet : الملقط
22 sarung tangan : القفازات
23 gunting : مقص
24 tisu : الأنسجة
25 cairan : سائل
26 darah : دم
27 donor darah : المتبرعين بالدم
28 Rumah sakit : مستشفى
29 jarum suntik : إبرة تحت الجلد
30 urin : بول
31 pispot : قعادة
2 Termometer : ميزان الحرارة
3 cawan : الكأس
4 masker : قناع
5 infus : التسريب
6 suntikan : الحقن
7 demam : الحمى
8 Tempat tidur pasien : سرير المريض
9 timbangan berat badan : جداول الوزن
10 stetoskop : سماعة الطبيب
11 ambulance : سيارة إسعاف
12 plester luka : الشريط الجرح
13 tabung oksigen : الأوكسجين
14 inkubator : حاضنة
15 kursi roda : كرسي متحرك
16 timbangan bayi : جداول طفل
17 mortar : هاون
18 tiang infus : رابعا القطب
19 bidan : القابلة
20 perawat : ممرضة
21 pincet : الملقط
22 sarung tangan : القفازات
23 gunting : مقص
24 tisu : الأنسجة
25 cairan : سائل
26 darah : دم
27 donor darah : المتبرعين بالدم
28 Rumah sakit : مستشفى
29 jarum suntik : إبرة تحت الجلد
30 urin : بول
31 pispot : قعادة
muhadtsa tentang perkenalan
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Assalamu ‘alaikum.
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
كَيْفَ حَالُكَ؟
Bagaimana kabarmu (Apa kabar)?
إِنِّيْ بِخَيْرٍ وَعَافِيَةٍ
Baik-baik saja.
مَاسْمُكَ؟
Siapa namamu?
إِسْمِيْ عَبْدُ اللهِ
Namaku Abdullah.
مَاسْمُ أَبِيْكَ؟
Siapa nama ayahmu?
إِسْمُهُ زَكَرِيَّا
Namanya Zakariya.
مَاسْمُ أُمِّكَ؟
Siapa nama ibumu?
إِسْمُهاَ زَهْرَةُ
Namanya Zahrah.
مَاسْمُ أَخِيْكَ الْكَبِيْرِ؟
Siapa nama kakak lelakimu?
إِسْمُهُ يَحْيَى
Namanya Yahya
مَاسْمُ أَخِيْكَ الصَّغِيْرِ؟
Siapa nama adik lelakimu?
إِسْمُهُ مُحَمَّدٌ
Namanya Muhammad
مَاسْمُ أُخْتِكَ الْكَبِيْرَةِ؟
Siapa nama kakak perempuanmu?
إِسْمُهَا مَرْيَمُ
Namanya Maryam.
مَاسْمُ أُخْتِكَ الصَّغِيْرَةِ؟
Siapa nama adik perempuanmu?
إِسْمُهَا زَيْنَبُ
Namanya Zainab.
أَأَنْتَ أَخُوْ يُوْسُفَ الْكَبِيْرُ؟
Apakah engkau adalah kakak lelaki Yusuf?
لاَ، لَسْتُ أَخَاهُ
Bukan, aku bukan kakak lelakinya.
أَأَنْتَ عَمُّ إِبْرَاهِيْمَ؟
Apakah engkau paman dari Ibrahim?
لاَ، لَسْتُ عَمُّهُ بَلْ أَنَا أَبُوْهُ
Bukan, aku bukan pamannya, tetapi aku ayahnya.
أَأَنْتَ خَالُ حَمْزَةَ؟
Apakah engkau paman dari Hamzah?
نَعَمْ، أَنَاْ خَالُهُ
Ya, aku pamannya.
هَلْ أَنْتَ تَاجِرٌ؟
Apakah engkau seorang pedagang?
لاَ، لَسْتُ تَاجِرٌ بَلْ أَنَاْ مُوَظَّفُ الْحُكُوْمَةِ، وَأَنْتَ يَا أَخِيْ؟
Tidak, aku bukan seorang pedagang, namun aku seorang pegawai negeri. Bagaimana dengan engkau, wahai saudaraku?
أَنَاْ مُدَرِّسٌ فِي الْمَدْرَسَةِ الثَّنَاوِيَّةِ الْعَامَّةِ الْحُكُوْمِيَّةِ
Aku adalah seorang guru di Sekolah Menengah Atas Negeri
الْمُفْرَدَات عَنِ الْحَيَاةِ الْيَوْمِيَّة (Kosa Kata tentang Kehidupan Sehari-hari)
يَنَامُ = Tidur
يَسْتَيْقِظُ = Bangun tidur
يَذْهَبُ = Pergi
يَكْنُسُ = Menyapu
يَغْسِلُ = Mencuci
يَكْوي = Menggosok
يُشَاهِدُ = Menonton
كَبِيْرٌ = Besar
صَحِيْفَةٌ = - Koran
تِلْفَازٌ = TV
مَدْرَسَةٌ = Sekolahan
سَيَّارَةٌ = Mobil
حَافِلَةٌ = Bus
مَلَابِسٌ = Pakaian
أَطْبَاقٌ = Piring-piring
الصَّبَاح = Pagi
الْفَجْر = Waktu Fajar
سَاعَةٌ - زَمَنِيَّةٌ = – Jam (Waktu)
صَلَاةٌ = Sholat
مُبَكِّرًا = Pagi-pagi
مُتَأَخِّرًا = Terlambat
عَمَل = Bekerja
عُطْلَةٌ = Hari Libur
يَذْهَبُ = Pergi
يَكْنُسُ = Menyapu
يَغْسِلُ = Mencuci
يَكْوي = Menggosok
يُشَاهِدُ = Menonton
كَبِيْرٌ = Besar
صَحِيْفَةٌ = - Koran
تِلْفَازٌ = TV
مَدْرَسَةٌ = Sekolahan
سَيَّارَةٌ = Mobil
حَافِلَةٌ = Bus
مَلَابِسٌ = Pakaian
أَطْبَاقٌ = Piring-piring
الصَّبَاح = Pagi
الْفَجْر = Waktu Fajar
سَاعَةٌ - زَمَنِيَّةٌ = – Jam (Waktu)
صَلَاةٌ = Sholat
مُبَكِّرًا = Pagi-pagi
مُتَأَخِّرًا = Terlambat
عَمَل = Bekerja
عُطْلَةٌ = Hari Libur
Langganan:
Postingan (Atom)