Sabtu, 15 November 2014

Perkara yang menyembabkan mandi janabah

Pengarang Matan Abu Syuja’, Al-Qadhi Abu Syujaa’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfihaany Rahimahullahu menulis,

“فصل” والذي يوجب الغسل ستة أشياء: ثلاثة تشترك فيها الرجال والنساء وهي: التقاء الختانين،  وإنزال المني، والموت. وثلاثة تختص بها النساء وهي:  الحيض،  والنفاس،  والولادة

(Pasal) Perkara yang mewajibkan mandi itu ada 6, yaitu:

Tiga diantaranya berlaku sama bagi pria maupun wanita, yaitu: 1. Bertemunya dua jenis kemaluan (bersetubuh), 2. Keluarnya mani, 3. Mati (bukan mati syahid). Dan 3 lainnya khusus bagi wanita: 4. Haidh, 5. Nifas, 6. Melahirkan

1. Bertemunya dua jenis kemaluan (jima’)

Sesungguhnya agama Islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian dengan perhatian yang sempurna. Diluar islam, tidak ada yang mengatur perihal mandi bagi para pengikutnya. Perhatian Islam atas kesucian merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Dalam syariat Islam, kita mengenal beberapa jenis perintah yang terkait dengan menjaga diri dari kotoran, najis dan hal hal yang tidak suci. Meski wudhu, mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan.

Jika seorang suami menyetubuhi istrinya, maka ia wajib mandi. Seseorang dikatakan berjima’, jika ia memasukkan pucuk dzakarnya ke dalam farji istrinya. Manakala pucuk dzakarnya telah masuk farji istrinya ia diwajibkan mandi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika dua khitan bertemu dan kepala dzakar (penis) laki-laki tersembunyi dalam kemaluan wanita, maka wajib mandi”. (HR. Ibnu Majah)

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدَ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ.

“Jika seorang laki-laki (suami) duduk di antara empat cabang (kedua kaki dan kedua tangan) istrinya, kemudian menyetubuhinya maka sungguh ia telah diwajibkan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh, betapa banyaknya orang yang tidak mengetahui hukum jima’ dengan tidak mengeluarkan mani seperti ini. Diantara mereka ada yang sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tidak mandi jinabat, padahal ia bersetubuh dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.

Sebagai seorang muslim wajib mengetahui permasalahan di atas dan mengetahui batas-batas yang diperintahkan Rasul-Nya. Misalnya, jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya sekalipun tidak keluar mani, ia tetap wajib mandi begitu pula istrinya.

Adapun pengertian atau definisi daripada Mandi wajib Islam adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Adapun tujuan daripada mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadats besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat.

2. Keluarnya mani

Keluar mani disertai syahwat, baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Akan tetapi mimpi keluar mani dalam tidur, sudah pasti menyebabkan seseorang wajib mandi, sekalipun tidak disertai syahwat. Karena orang yang tidur kadang bermimpi tetapi bisa saja tidak merasa. Sudah pasti bagi yang keluar mani disertai syahwat, dalam keadaan bagaimanapun juga ia wajib mandi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.

“Air itu dikarenakan air.” (HR. Muslim)

Maksudnya, mandi itu diwajibkan karena keluarnya air mani.

Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiallahu ‘Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).

Rasul bersabda: “Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib mandi.”

Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiallahu Anha bertanya: “Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?” Rasul menjawab: “Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani adalah:

a) Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.

b)  Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.

c)  Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.

Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria. Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila kekuatannya melebihi kadar rata-rata.

Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.

a)   Baunya seperti bau mani pria.

b)   Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.

3.  Meninggal (bukan mati syahid)

Menurut sebagian ulama diantara hal yang mewajibkan mandi adalah mati, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada wanita-wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau:

اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ.

“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, tujuh kali ataupun lebih dari itu, jika memang baik menurut pendapat-pendapatmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan seorang laki-laki yang terlontar dari untanya sehingga menyebabkan dia meninggal dunia:

إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفًّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.

“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara, dan kafanilah dengan dua lembar kain”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari nash-nash hadits di atas para ulama berkata: Jenazah itu wajib dimandikan, namun kewajiban ini berlaku bagi orang yang masih hidup, dan merekalah yang menjadi sasaran perintah dalam memandikan jenazah, karena orang mati sudah terputus beban taklifnya.

4.  Haidh

Seorang wanita jika telah suci dari haidhnya, ia diwajibkan mandi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (Al-Baqarah: 222)

Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang haidh adalah, { حَتَّى يَطْهُرْنَ } “sampai mereka suci”, yaitu, darah mereka telah berhenti, maka apabila darah mereka telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir.

Syarat kehalalannya ada dua, terputusnya darah dan mandi suci darinya. Ketika darahnya berhenti lenyaplah syarat pertama hingga tersisa syarat kedua. Maka oleh karena itu Allah berfirman, {فَإِذَا تَطَهَّرْنَ } “Apabila mereka telah suci”, maksudnya mereka telah mandi, {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ} “maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”, yaitu pada kemaluan depan dan bukan lubang bagian belakang, karena bagian itu adalah tempatnya bersenggama, ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mandi bagi seorang wanita yang haidh dan bahwasanya terputusnya darah adalah syarat sahnya mandi. Inilah pendapat jumhur ulama’

Dan tatkala larangan tersebut merupakan kasih sayang dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya dan pemeliharaan dari kotoran, maka Allah berfirman, {إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين} “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”, yaitu dari dosa-dosa mereka secara terus menerus, {وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ} “dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”, yaitu yang bersuci dari dosa-dosa, dan ini mencakup segala macam bersuci dari yang bersifat matrial seperti dari najis maupun hadats.

5.  Nifas (darah yang menyertai kelahiran)

Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.

Wanita yang selesai nifas, diwajibkan mandi. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang wanita mustahadhah, apabila telah sesuai dengan hari berhenti haidhnya hendaknya ia mandi. (Lihat, hadits Bukhari dan Muslim, kitab al-Haidh)

Cara mandi wanita haidh dan wanita nifas sama dengan cara mandi wanita jinabah. Hanya saja menurut sebagian ulama, bagi wanita haidh disunnahkan (mustahab) untuk mandi dengan air yang dicampur daun bidara karena dapat lebih membersihkan kotoran (bau darah).

Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
6.  Melahirkan
Mandi Wiladah yaitu Mandi disebabkan illat bersalin. Ini adalah satu pendapat yang masyhur dalam Syafi’iyah, antaranya dalam Kitab-kitab populer mereka seperti: Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar dan Al Ghoyah wa Taqriib.
Ini dinamakan mandi wajib karena bersalin, kemudian dikenakan juga mandi karena selesainya Nifas (40 hari). Tapi mandi yang disyariatkan menurut pendapat Jumhur ialah mandi Nifas saja. Jika bersalin tanpa darah atau bersalin secara Caesar tanpa ada darah, maka menurut Hanabilah dan fatwa-fatwa seperti Lajnah Daimah tidak wajib mandi, sebab illat mandi ialah adanya Nifas (bila kering nifas, barulah mandi)
Permasalahan mandi wiladah dan nifas ini adalah khilaf pada tafsiran illat (sebab) mandi bagi wanita: sama saja karena bersalin atau karena darah Nifas.
oleh UST. DR. ERWANDI TARMIDZI, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar